Jumat, 15 Agustus 2008

Gereja & Theology Magisterium



Salah satu tema yang sangat populer pada akhir abad ke sembilan belas adalah istilah Eco Teologia - teologi lingkungan. Tema ini disebut populer kerana selama lima belas abad, teologi selalu memberikan perhatian, terbatas pada persoalan manusia dan segala kepentingan, dalam hubungannya dengan Allah. Dunia memang diberi atensi, akan tetapi ”sangat disayangkan”, atensi tersebut selalu melalui sudut kepentingan manusia. Dunia dipandang sebagai tempat, dimana manusia dihadirkan dengan segala tanggung jawabnya, tetapi sebatas pandangan bahwa, dunia adalah ciptaan Allah yang tersedia bagi segala kebutuhan manusia.

Apapun kondisinya, itu tidak menjadi suatu permasalahan yang penting bagi manusia untuk dihirauakan. Tidaklah mengherankan; bilamana bilamana manusia dengan segala kecangggihanya dalam bidang iptek, terus menerus memperlakukan dunia sebagai kelinci percobaan. Bila demikian, lalu apa hubungannya dengan gereja ? hubungannya setali tiga uang. Hubungan yang dimaksud disini adalah evolusi dogma-agama kristen (katolik) dalam menghadapi peradaban.

Dulu, charles Darwin bilang bahwa ia merasa tenang dengan menimani adanya Tuhan yang menuasai alam wujud, yang demikian dalam waktu yang bersamaan, dia juga bilang bahwa perasaannya itu tidak mengharuskan orang lain supaya meresa seperti dirinya, dan tidak dapat dijadikan kerangka acuan ilmiah dari mereka yang mengimani Tuhan.

Berbeda dengan darwin yang agak malu malu, Ernst Heckle yang sedikit beraninya juga bilang bahwa kepercayaan kepada satu dzat tertinggi berarti harus membenarkan hukum akal dari wahyu yang menjadi landasan agama kristen.

Setiap peradaban besar selalu mempunyai keistimewaan tersendiri dalam menentukan defenisi. Peradaban yang manusiawi mempunyai sifat sifat lahir dan batin,sama seperti alam wujud tempat beradanya peradaban tersebut. Sifat sifat lahiriah ditentukan oleh hukum tingkah laku dalam praktek hidup keseharian, yang dinilai dari status sosial serta apa yang berkaitan dengan pluralitas (kebersamaan) ‘Ada didalam ada bersama dengan sesama’. Sebagaimana halnya dengan pandangan darwin dengan pemahaman agamanya yang evolusioner, yang kemudian direhabilitasi Ernst Heckle.

Lalu bagaimana dengan pandangan dan pemahaman serta kiat gereja yang kepercayaannnya selalu berevolusi seperti Darwin dan teorinya ? Gereja mengambil sikap yang sangat tegas dan revolusioner,-menerapkan theology Magisterium. Apa yang dimaksud dengan Magisterium ? Binatang apakah itu ?

Ditinjau dari struktur kata-, Magisterium berasal dari kata Latin yang berarti “guru”. Secara umum magisterium berarti kuasa atau tugas mengajar atau memimpin. Untuk kalangan kristen dan katolik, magisterium merupakan salah satu bagian dari ajaran gereja yang harus diikuti atau ditaati. Selain magisterium, gereja juga mempunyai ‘kekayaan-kekayaan’ lain yang berupa tradisi tradisi kuni yang diajarkan kepada umat sebagai bagian internal dari tata cara peribadatan.

Sejak konsili Vatikan II (1962-1965) gereja katolik berubah dalam banyak hal. Gereja gereja pembaharu (protestan) tidak menyadarinya, dan gereja tua sendiri (gereja katolik) kurang berminat untuk memikirkannya, serta ummat sendiripun tidak mengetahuinya. Mengapa ? sebab perubahan-perubahan tersebut terjadi tanpa suara-alias diam diam, dan juga agak lamban. Hebatnya perubahan tersebut justeru pada kitab suci, dimana kitab kitab tersebut mendapat tempat yang “tidak terhormat” dalam teology dan karya Pastoral..

Secara teoritis, kitab kitab yang sucikan ini selalu dijunjung tinggi oleh gereja, malah dipandang sebagai dasar teology dan hidup kristen. Sebaliknya dalam praktek hidup sehari hari. Prinsip dasar ini diterapkan dengan caya yang berbeda-beda dan bertentangan. Para penulis kitab ini pada abad keempat yang hanya mengenal satu jenis teology, yaitu teology yang berdasarkan kitab yang ditulisnya tersebut.

Keadaan ini berlanjut hingga abad pertengahan. Teology diartikan sebagai pengetahuan akan kitab suci. Para dosen teology disebut : magistri sacrae paginate yang artinya guru guru kita suci. Duns Scottus (1270-1308 ) masih menulis bahwa “teology kita masih membicarakan apa yang tertulis dalam kitab kitab suci dan bukan apa yang disimpulkan dari padanya.

Kata dan Kuasa mengajar Gereja.

Tetapi sesudah konsili Toronto (abad XVI) terbentuklah sejenis teology yang sangat mengecilkan peranan kitab kitab yang disucikan tersebut. Perubahan perubahan ini disebabkan oleh banyak faktor. Faktor yang terpenting adalah polemik dengan dalil dalil protestantisme dengan tidak memperhitungkan peranan peranan tradisi dan kuasa mengajar gereja.

Perubahan ini diperhebat lagi dengan munculnya berbagai aliran baru, antara lain : rasionalisme, humanisme, dan positivisme. Karena lelah akhibat bermacam macam perdebatan, para teolog semakin merasa aman dengan ajaran resmi gereja dengan dogma dogma dan credo. Akhibat dari kecenderungan ini, para teolog makin menekankan peranan gereja dengan tangan besi. Umat paham atau tidak harus paham. Lama kelamaan para teolog terjebak dalam suatu pola berpikir yang sangat salah kaprah : pernyataan pernyataan resmi gereja dipandang sebagai pegangan utama. Sedangkan kitab kitab suci digeser pada tempat kedua. Padahal para penulis kitab sendiri dan pemimpin pemimpin gereja pada abad keempat sampai abad ke lima belas, ajaran selalu ditimba dari kitab kitab yang mereka tulis yang kemudian disucikan tersebut.

Dari permasalahan diatas ini menjadi sumber pemicu lahirnya kekonyolan kekonyolan lain yang disebut yang disebut dengan teology magisterium (kuasa mengajar gereja) dengan ajaran atau ketentuan sebagai berikut: ajaran gereja disusun dalam bentuk dalil, yang disesuaikan dengan bobotnya masing masing. Bukti benar atau tidaknya ajaran terbut harus ditimba dari tradisi (terutama tradisi gereja Yunani dan Gereja Latin “Roma”).dimana ajaran ajaran tersebut harus diperkuat dengan alasan yang kurang rasional ‘dogmatis’ Akhibat perubahan tersebut para teolog sebagai ilmuwan gereja tidak berperan sama sekali. Tugas mereka diambil alih oleh magisterium untuk mengartikan wahyu, lalu merumuskannya dalam bentuk dalil dalil sesuai dngan kehendaknya masing masing,dan membelanya habis habisan dari serangan kalangan lain yang dianggap bi’dah dengan rumus rumus yang sudah jadi sekalipun sangan tidak masuk akal.

Hal tersebut sama seperti teolog reformasi (protestan) merekapun menyusun dalil dalil, lalu mencari nash nash dalam kitab suci yang membenarkan pikiran mereka untuk melawan katolik. Mentalitas teology dalam pengertian ini menyusup kedalam semua buku buku suci (perjanjian lama dan perjanjian Baru).

Selain itu, teology magisaterium yang bercorak historis, kitab kitab yang disucikan tersebut, hanya dipandang sebagai salah satu sarana wahyu karena kitab kita tersebut tidaklah lebih dari kata kata mutiara. Dilupakan bahwa kitab kitab sebelumnya tidaklah jatuh dari langit. Sebagai dampaknya, para pastor semakin giat membela iman katolik (kristen), tetapi tidak pernah menjelaskan isi kitab yang disucikan tersebut pada ummat gembalaannya. Mereka mencurigai orang orang yang membaca kita suci, dianggap sebagai simpatisan Protestantisme. Hal ini dapat kita ketahui dari bencana yang menimpa Pastor Pius Parch “mati ditiang gantungan” karena mengadakan jam kitab suci disebuah paroki dekat Wina,karena hanya gereja yang berhak menilai kitab suci dan tafsir kitab suci tidak boleh bertentangan dengan tafsir gereja pada umumnya karena ummat tidak siap membaca kita suci tersebut secara langsung, oleh karena itu pembacaan kitab suci harus dibatasi.

Gereja berdasarkan ajaran ajarannya pada tradisi gereja, bahwa tidak semua ajaran iman dapat dijelaskan secara tuntas, karena banyak terkait dengan revelasi atau pewahyuan. Dan apa yang berkaitan dengan revelasi atau pewahyuan ilahi dan apa yang berkaitan dengan pewahyuan ilahi tentulah mempunyai seginya yang penuh misteri, penuh rahasia, yang tidak terjangkau oleh akal pikiran manusia.

Apakah artinya jikalau seseorang itu berteriak lantang tentang kebenaran Illahi, sementara ia sendiri tidak mengetahui dan memahaminya sama sekali ? apakah hal ini dikatakan dengan Iman, jikalau seseorang itu mengikuti segala sesuatu dengan takliq yang buta, tanpa merasa perlu untuk berpikir akhibat akhibatnya ? Fatumkah ini ?

Tidak ada komentar: